Kamis, 14 Januari 2010

Fakir-Miskin, Mana yang Lebih Parah?

Seorang pembaca tulisan perkenalan saya yang lalu mengingatkan bahwa pengertian fakir dan miskin-nya, terbalik. Berbeda dengan Oom Jon Pakir, Dul Pakir ini bukan lulusan pesantren, melainkan hanya sekolah madrasah sore hari pada masa kecil. Dan kemungkinan besar definisi itu memang terbalik.

Dalam tulisan saya terdahulu, "fakir adalah orang yang tidak mempunyai kecukupan harta untuk memenuhi kebutuhan pokoknya seperti makanan, pakaian dan tempat tinggal".

Sedangkan miskin adalah "orang yang sama sekali tidak mempunyai apa-apa”. Dan lantas uraian saya, berkembang sesuai dengan logika itu.

Yang betul, kata pembaca yang mengoreksi, fakir, adalah mereka yang tidak mempunyai harta dan pekerjaan, untuk mencukupi kebutuhan sehari-harinya. Sedangkan, miskin adalah mereka yang mempunyai harta dan pekerjaan, namun tidak mencukupi kebutuhan primer mereka.

Ada yang mencatat lebih ilustratif bahwa, fakir adalah sangat melarat, bahwa kalau seseorang membutuhkan harta untuk bisa hidup layak sebanyak 10 rupiah namun hanya memiliki tiga rupiah; sementara miskin adalah orang miskin sedang, bahwa kalau seseorang membutuhkan harta untuk bisa hidup layak sebanyak 10 rupiah namun hanya memiliki tujuh rupiah. Jadi fakir itu kondisinya di bawah miskin.

Kalau pengertian ini yang dipakai, maka pengertian saya dalam tulisan terdahulu, bahwa miskin itu di bawahnya fakir, adalah keliru. Tapi, apakah telah sepenuhnya keliru?

Coba kita baca uraian Ustadz Quraish Shihab mengenai “Kemiskinan”, dalam bukunya “Wawasan Al-Qur’an” (Mizan, cetakan XVII, 2006). Ustadz Quraish mengulas soal dua istilah itu dalam konteks menjelaskan hakikat kemiskinan.

“Kemiskinan dan pengentasannya,” catat Ustadz Quraish, “termasuk persoalan kemasyarakatan, yang faktor penyebab dan tolok ukur kadarnya, dapat berbeda akibat perbedaan lokasi dan situasi. Karena itu Al-Quran tidak menetapkan kadarnya, dan tidak memberikan petunjuk operasional yang rinci untuk pengentasannya.”

Selanjutnya, kita baca uraian Ustadz Quraish berikut ini: “Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “miskin” diartikan sebagai tidak berharta benda; serba kekurangan (berpenghasilan rendah). Sedangkan fakir diartikan sebagai orang yang sangat berkekurangan; atau sangat miskin.”

“Dari bahasa aslinya (Arab) kata miskin terambil dari kata sakana yang berarti diam atau tenang, sedang faqir dari kata faqr yang pada mulanya berarti tulang punggung. Faqir adalah orang yang patah tulang punggungnya, dalam arti bahwa beban yang dipikulnya sedemikian berat sehingga “mematahkan” tulang punggungnya.”

“Sebagai akibat dari tidak adanya definisi yang dikemukakan Al-Quran untuk kedua istilah tersebut, para pakar Islam berbeda pendapat dalam menetapkan tolok ukur kemiskinan dan kefakiran.”

“Sebagian mereka berpendapat bahwa fakir adalah orang yang berpenghasilan kurang dari setengah kebutuhan pokoknya, sedang miskin adalah yang berpenghasilan di atas itu, namun tidak cukup untuk menutupi kebutuhan pokoknya. Ada juga yang mendefinisikan sebaliknya, sehingga menurut mereka keadaan si fakir relatif lebih baik dari si miskin.”

Membaca keterangan Ustadz Quraish, agak lega juga. Sepenggal kalimat “Ada juga yang mendefinisikan sebaliknya, sehingga menurut mereka keadaan si fakir relatif lebih baik dari si miskin, ”seolah mengkonfirmasi bahwa, apa yang saya tulis terdahulu tidak sepenuhnya salah juga".

Tapi, sungguh, saya tak hendak mengajak untuk berpolemik secara fiqiyah tentang definisi fakir dan miskin itu. “Al-Quran dan hadis tidak menetapkan angka tertentu dan pasti sebagai ukuran kemiskinan, sehingga yang dikemukakan di atas dapat saja berubah,” catat Ustadz Quraish.

Namun, tambahnya, yang pasti, Al-Quran menjadikan setiap orang yang memerlukan sesuatu sebagai fakir atau miskin yang harus dibantu.

Ustadz Quraish, mencatat, “Islam tidak menjadikan banyaknya harta sebagai tolok ukur kekayaan, karena kekayaan yang sebenarnya adalah kekayaan hati dan kepuasannya.”

Dalam literatur lain saya temukan, bahwa diskursus soal parameter fakir dan miskin, memang sudah dibahas oleh kalangan ulama sejak pada masa lampau, di mana mereka pun memiliki pandangan yang berbeda: mana yang lebih parah kondisinya, fakir ataukah miskin?

Sebagian ulama cenderung memandang bahwa fakir lebih parah kondisinya daripada miskin. Ada lagi yang berpendapat fakir itu sama dengan miskin. Ada pula pendapat yang menyatakan miskin lebih parah kondisinya daripada fakir.

Yang jelas mereka adalah kaum papa yang berhak memperoleh zakat. By the way, sudahkah anda mengkonsultasikan pada ahli zakat, apakah secara materi anda termasuk yang sudah wajib membayar zakat (mal)? Mungkin pertanyaan inilah, hikmah dari “kekeliruan” tulisan saya terdahulu.

Dalam wacana kaum sufi atau secara sufistik, maka tentu saja makna fakir tidak semata-mata dikalkulasikan dengan konteks materi yang kasat mata. Dalam pandangan Farid Al-Din ‘Aththar, misalnya, kefakiran merupakan rangkaian tahapan dari perjalanan spiritual seorang mukmin.

Tahapan tersebut adalah thalab (pencarian), ‘isyq (cinta), ma’rifah (pengenalan), istighna’ (merasa puas), faqr (kefakiran) dan fana’ (lebur). Ini perlu penjelasan lebih lanjut dari yang ahli sufi.

Dari khasanah sufi, dicatat: seorang yang fakir adalah bilamana dia tidak memperoleh apa pun, dia diam; dan bilamana dia memperolah sesuatu, dia memandang orang lain lebih berhak memperolehnya dari pada dirinya, sehingga karenanya dia mudah memberikannya. Kefakiran adalah lautan kesulitan, dan semua kesulitan demi Dia adalah kemuliaan.

Orang fakir yang qanaah dan ikhlas akan mendapatkan pahala. Sedangkan fakir yang rakus sama sekali tidak mendapatkan pahala dari kemiskinannya itu. Kunci surga adalah mencintai orang-orang miskin dan fakir, karena kesabaran mereka.

Wallahua’lam. Sungguh, Dul Pakir ini, sangat dangkal ilmunya, dan manakala ada “kekeliruan”, tentulah sangat berharap untuk dapat diluruskan. Dengan demikian, kita akan tetap terus belajar. (***)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar